Selasa, 19 Februari 2013

Kritik Ekspresif dalam Novel Saman Karya Ayu Utami




KRITIK EKSPRESIF
DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI
Ditulis untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah Kritik Sastra
Dosen Pengampu : Dra. Ambarini Asriningsari, M.Hum.








Oleh:
ARDI SETIYAWAN
NPM 10410022
Kelas 5A



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI SEMARANG
2012





KRITIK EKSPRESIF DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI

Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968. Ayu Utami masuk ke Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia (UI). Ayu Utami pernah menjalani dunia model setelah menjadi finalis wajah Femina tahun 1990. Kemenangan cerpennya di majalah Humor menariknya menjadi wartawan di majalah Matra. Ia akhirnya pindah ke Forum Keadilan, dan D&R.
Setelah melanglang ke majalah D&R selama setengah tahun dan di BBC selama beberapa bulan, akhirnya Ayu Utami menemukan tempat terakhirnya yaitu Komunitas Utan Kayu. Ia masih bisa mengembangkan sayap kewartawanannya sebagai Redaktur Jurnal Kebudayaan. Di sinilah Ayu Utami melahirkan Novel SAMAN, yang kemudian membuat heboh di tengah masa krisis moneter.
Tulisan Ayu banyak mengenai kehidupan sehari-hari yang sederhana, tetapi menekankan aspek keadilan dan hak-hak sipil. Seperti yang tercermin dalam novel Saman. Novel ini pertama kali terbit April 1998, oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.
Tokoh problematik dalam novel Saman adalah tokoh yang bernama Saman. Saman ditentukan sebagai tokoh problematik karena Saman merupakan tokoh yang mempunyai masalah paling banyak dalam cerita dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Melalui masalah-masalah tersebut pengarang memberikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapinya.
Masalah pertama yang dihadapi oleh Saman yaitu muncul ketika ia telah diangkat menjadi seorang pastor dan ia berkeinginan untuk ditugaskan di desa tempat masa kecilnya mengalami suatu perjalanan aneh yang tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Akan tetapi Saman takut kalau keinginannya tidak sesuai dengan keputusan yang diberikan oleh Uskup.
Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Sesungguhnya, persoalan itulah yang ingin dibicarakan Wisanggeni. Dengan hati-hati ia ungkapkan keinginannya. Ia berharap ditugaskan di Perabumulih. Kenapa, tanya yang senior. Saya lulusan institut pertanian, jawabnya. Saya kira banyak yang bisa saya kerjakan di daerah perkebunan. Tetapi, kalau begitu Anda cocok ditugaskan di Siberut, pulau kecil di mana Gereja Katolik punya akar cukup besar di antara penduduk pedalaman yang nomaden, yang mayoritas hidup dari mengumpul panen alam tanpa bertani. Wis mencoba bertahan.” (Ayu Utami, 1998:42)
Novel Saman dikemas oleh pengarang sangat serius tapi santai, bercerita tentang bagaimana penindasan orang yang tinggal di Perabumulih. Melihat kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer, Saman dan teman-temannya berusaha untuk melawan dan memprotes tindakan tersebut. Akan tetapi protes dan perlawanan yang dilakukan oleh Saman membuat dirinya ditangkap dan dimasukkan ke ruang penyekapan. Sedangkan Anson dan teman-temannya berhasil lolos dari kejaran aparat militer. Selama di ruang penyekapan Saman selalu disiksa untuk dimintai keterangan tentang keberadaan Anson dan teman-temannya. Saman sudah putus asa akan keadaan yang menimpanya. Dalam novel tersebut, usaha yang dilakukan oleh Saman ternyata hanya bisa menunda usaha penggusuran dusun selama beberapa bulan saja bahkan hampir setahun.
Melalui tokoh Saman pengarang ingin mengkritik pemerintahan Orde Baru yang sewenang-wenang terhadap rakyat, misalnya pada masa Orde Baru ini muncul konflik persengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di Medan. Peristiwa itu membawakan persoalan peka bagi masyarakat yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Masyarakat tidak setuju akan perubahan itu, hal ini membuat oknum penguasa Sei Kumbang melakukan tindakan yang sewenang-wenang yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran para petani penduduk transmigrasi Sei Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh.
Melalui peristiwa tersebut pengarang merasa pemerintah sangat otoriter dan tidak adil, serta tidak memihak terhadap rakyat kecil. Terbukti dalam menanggapi protes dan perlawanan dari rakyat dengan menggunakan cara kekerasan yaitu adanya aksi-aksi aparat keamanan atau militer yang semakin brutal dan tidak terkendalikan. Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan atau militer telah membuka hati para aktivis untuk mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Akan tetapi LSM telah dituduh berpolitik dan mengorganisasikan rakyat miskin. Maka, pemerintah melakukan tindakan pengejaran dan penangkapan terhadap aktivis-aktivis LSM.
Menurut saya, novel Saman karya Ayu Utami merupakan novel yang menarik perhatian. Saman memberikan warna baru dalam dunia sastra. Novel ini bercerita tentang seorang pemuda yang bernama Saman, yang akhirnya menanggalkan “jubah kepastoran”nya itu, dan menjadi aktivis buron.
Dalam novel Saman tidak hanya masalah hukum dan keadilan sosial saja yang dikritik, tapi pengarang juga membahas problematika kebudayaan timur, terutama masalah keperawanan dan seksualitas. Novel Saman tidak hanya menuntut keadilan sosial dan peningkatan status perempuan Indonesia, tetapi juga hak seksual mereka. Dalam novel saman, pengarang banyak mengekspresikan kata-kata yang sangat kental dengan seks. Pembicaraan tentang seks, cinta, serta perasaan-perasaan yang saling bertaut antartokoh digambarkan tanpa beban dan secara bebas.
Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini:
“Kami melakukannya tanpa melepaskan pakaian, sebab hari masih terlalu dingin untuk telanjang. Setelah itu, mengulanginya di kamar hotel, tanpa berlekas-lekas di mana kulit saya menikmati kulitnya, dan kulitnya menikmati kulit saya, sebab kami telah menanggalkan semua pakaian. Dan kami berkeringat. Lalu setelah usai, kami akan bercerita satu sama lain. Tentang apa saja. Setelah itu, sayang, kita tertidur. Dan ketika terbangun, kita begitu bahagia. Sebab ternyata kita tidak berdosa. Meskipun saya tidak lagi perawan.” (Ayu Utami, 1998:30)

“Saman, tahukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikamati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang kesana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.” (Ayu Utami, 1998:195)
Saman menceritakan tentang persoalan antara perempuan dengan seksualitas. Jika laki-laki tidak pernah merasakan ada persoalan dengan seksualitasnya, perempuan sebaliknya, karena seksualitas perempuan selalu dipertanyakan jika dia ingin terjun ke sektor publik. Laki-laki dapat dengan lugas dan terbuka mengungkapkan hasratnya dan tentu saja tidak ada orang yang akan mempertanyakan termasuk pasangannya. Namun apa yang terjadi dengan perempuan, untuk mengungkapkan perasaan sukanya pada laki-laki saja perempuan menemui kendala, masyarakat tidak mudah menerima hal tersebut inilah yang kemudian terlihat dalam Saman.
Pengarang melihat seks sebagai sesuatu yang biasa saja atau hal yang tidak tabu, karena semua orang membutuhkan seks sebagai kebutuhan biologisnya, seperti kebutuhan makan atau minum. Melalui pernyataan tersebut, pengarang merasa bahwa perempuan memiliki hasrat yang sama dengan laki-laki itu bukanlah sesuatu yang buruk. Saman berhasil menggambarkan pemberontakan hak seksual perempuan untuk menggunakan bahasa tubuh. Saman merangkum persoalan seks dan perempuan, menggambarkan perempuan apa adanya, dan semua didefinisikan secara vulgar.
Pengarang bukan berarti menganjurkan seks sebelum menikah, tetapi menghimbau pembaca untuk merenungkan kembali problematika yang dialami perempuan yaitu isu keperawanan tersebut, supaya menempatkan isu tersebut sewajarnya saja. Karena apabila perempuan begitu memuja keperawanan, maka ia sendiri yang akan rugi. Keperawanan hilang, ia merasa sudah tidak berarti lagi.
Melalui gambaran peristiwa tersebut pengarang merasa isu keperawanan yang menempatkan perempuan pada pihak yang kalah. Perempuan dalam Saman adalah cerminan perempuan Indonesia pada tahun 1900-an, yang masih mengalami ketidakadilan dan penindasan yaitu kurangnya perlindungan hukum untuk menangani kekerasan seksual, ataupun norma masyarakat yang membatasi penggunaan hak seksual perempuan. Shakuntala dan teman-temannya tidak mempunyai batasan dalam memiliki peran mereka.
Selain beberapa hal tersebut, pengarang juga tidak melupakan mengenai pandangan sosial adat ketimuran. Pengarang membandingkan antara adat Timur dan Barat, yang sebenarnya mengajarkan kita untuk ingat bahwa kita berada dalam budaya timur yang masih terikat dengan norma-norma.
Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini:
“Di tanah ini orang-orang berkisah tentang negerimu. Dan negeri kami, orang-orangmu dan orang-orang kami. Kami orang Timur yang luhur. Kalian Barat yang bejat. Kaum wanitanya memakai bikini di jalan raya dan tidak menghormati keperawanan, sementara anak-anak sekolahnya, lelaki dan perempuan, hidupbersama tanpa menikah. Di negeri ini seks adalah milik orang dewasa lewat penikahan.” (Ayu Utami, 1998:135-136)
                                                 
Selain hukum, sosial, dan seksualitas, dalam penulisan novel Saman ini, pengarang mengajak umat Katolik untuk kritis terhadap hidup menggereja, yang merupakan kenyataan sosial di lingkungan kita. Tetapi hal ini terkadang justru membuat kebingungan pembaca. Apalagi pembaca yang tidak tahu menahu tentang hidup menggereja. Tetapi sebenarnya dari penjelasan pengarang ini memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang hidup menggereja.
Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini:
“Dia adalah satu di antara tiga lelaki yang berada dalam cahaya yang masuk dari tiga jendela di atas altar. Terang yang lain menerobos lewat fragmen kaca patri yang terjajar sepanjang dinding gereja. Bayangan-bayangan pun jatuh, memanjang ke tujuh penjuru dari kaki pilar-pilar korintia. Juga dari kaki patung para sanctus. Terang yang paling kecil datang dari lilin-lilin yang dinyalakan koster sebelum misa pentahbisan dimulai. Tiga pemuda itu berjubah putih, lumen de lumine, dan Bapa Uskup dengan mitra keemasan memanggil nama mereka satu per satu. Juga namanya: Athanasius Wisanggeni.” (Ayu Utami, 1998:40)
Keistimewaan Saman memang kemampuannya untuk bercerita tanpa beban, ia hanya asyik bercerita. Bahkan, ketika ada sisipan-sisipan pemikiran tentang Tuhan, agama, negara, hubungan mengenai ikon-ikon generasi Orde Baru yaitu generasi yang terlahir dan besar selama Orde Baru, yang dibuai dengan hegemoni pembangunan.
Dan begitulah ekspresivitas Ayu Utami dalam novel Saman, sebuah luapan pikiran, perasaan, dan pengalaman empirik dalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang mengalami berbagai dimensi kebobrokan moralnya. Di satu sisi, Saman memenuhi kewajiban sebagai pastor, di satu sisi pula ia harus membela penduduk untuk melawan kebiadaban para investor dan pemilik modal, dan di sisi lain ia ingin menyalurkan hasrat seksualnya yang tinggi walaupun dalam status yang tak jelas pula (antara pastor dan aktivis). Serta, bagaimana pandangan sang pengarang terhadap bangsa Indonesia di era Orde Baru yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, bahkan harus mengobarkan nyawa orang lain. Dan yang tak kalah penting, bahwa dalih para pemilik modal tersebut adalah “atas nama pembangunan!”.
[Ardi Setiyawan, 5A]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar